Senin, 27 Maret 2017

Takjub Dan Bangga !!... Kisah Ribuan PASUKAN MAUNG Turun Gunung Mengikuti Perintah Jenderal Besar Soedirman...!

Takjub Dan Bangga !!... Kisah Ribuan PASUKAN MAUNG Turun Gunung Mengikuti Perintah Jenderal Besar Soedirman...!


Para pasukan maung itu lantas bermunculan dari gunung dan hutan. Jumlahnya tidak main-main, ada sekitar 29.000 siap untuk turun gunung. Sorot mata mereka terlihat bersemangat dan kuat.

Takjub Dan Bangga !!... Kisah Ribuan PASUKAN MAUNG Turun Gunung Mengikuti Perintah Jenderal Besar Soedirman...!
Takjub Dan Bangga !!... Kisah Ribuan PASUKAN MAUNG Turun Gunung Mengikuti Perintah Jenderal Besar Soedirman...!


Perintah Kolonel AH. Nasoetion itu datang begitu tiba-tiba. Namun sebagai petugas intelijen Divisi Siliwangi, Letnan Muda Soedarja harus melaksanakan intruksi panglimanya tersebut: menjadi perwira penghubung dengan pihak militer Belanda dalam pelaksanaan mobilisasi terkait hasil Perjanjian Renville di Sumedang (Foto Cover: Maung atau Harimau yang merupakan simbolisasi Pasukan Siliwangi).

Langkah pertama yang dilakukan oleh Soedarja adalah berkoordinasi dengan wakil  dari pihak militer Belanda. Berdasarkan kesepakatan dengan Letnan Kolonel JJ. Malta, perwira menengah dari Divisi 7 Desember , ia harus menyampaikan sepucuk surat kepada  Kapten Sentot Iskandardinata dari Batalyon 27. Isinya: perintah Kolonel AH. Nasoetion agar “para maung ” (artinya para harimau: julukan untuk para prajurit Divisi Siliwangi) turun gunung dan berangkat hijrah ke wilayah Jawa Tengah.

Dampak Perjanjian Renville

Bersama Letnan Omon dan tiga serdadu Belanda, dengan menggunakan truk militer, pagi sekali Soedarja sudah berangkat ke hutan Rancakalong. Selama perjalanan, Soedarja sempat ketar-ketir. “ Bayangkan saja, saya harus pergi ke “gua harimau” bersama tentara Belanda, bisa-bisa sampai sana saya didorhos (ditembak) sama anak buah Pak Sentot,” kenang lelaki yang saat ini berusia 91 tahun itu seraya tertawa.

Untunglah, Letnan Omon dikenal baik oleh sebagian prajurit Yon 27. Setelah menerangkan maksud dan tujuan serta memperlihatkan surat perintah dari Kolonel AH. Nasoetion, mereka kemudian dihadapkan kepada Kapten Sentot. Komandan Batalyon 27 itu sempat mengernyitkan dahinya kala membaca surat perintah itu. Raut kekecewaan nampak memenuhi wajahnya. Namun setelah Soedarja memperlihatkan surat kabar yang memuat berita tentang tercapainya Perjanjian Renville, perwira yang tak lain adalah putera dari pahlawan nasional Otto Iskandardinata tersebut akhirnya hanya bisa mengangguk lemas.

Disiplin Tentara

“Pada mulanya tentu saja ia kecewa seperti juga halnya saya,” kenang mantan perwira dari Seksi I (Bagian Intelijen) Divisi Siliwangi tersebut. Sesungguhnya, kekecewaan bukan hanya milik Letnan Muda Soedarja dan Kapten Sentot saja. Seluruh prajurit Siliwangi merasakan hal yang sama. Namun bagi mereka, perintah adalah perintah. Betapapun beratnya hati mereka untuk menghentikan perlawanan dan turun gunung, tugas mereka sebagai tentara tak lebih hanya disiplin kepada  garis komando tertinggi sesuai pidato Panglima Besar Jenderal Soedirman saat itu: “…kepentingan negara harus di atas kepentingan sendiri…Tentara harus tetap memperlihatkan sikap disiplinnya!..”

Para Maung Bermunculan

Para maung lantas bermunculan dari gunung dan hutan. Roeqojah Noeraini (78) masih ingat, bagaimana  kondisi para prajurit muda itu. ”Pakaian mereka compang-camping, sebagian tanpa alas kaki dan badan mereka 
kurus-kurus karena kurang makan namun terlihat kuat dan bersemangat,” ujar penduduk Sumedang yang waktu itu masih berusia 11 tahun itu.

Pada 1 Februari 1948, sekitar 29.000 prajurit Siliwangi beserta keluarganya yang datang dari seluruh Jawa Barat (kecuali Banten)  dikumpulkan di Cirebon. Dari kota udang itu,  sebagian dari mereka lantas diangkut dengan kapal Belanda bernama Plancius  menuju 
Pelabuhan Rembang. Sebagian lagi diangkut  dengan kereta api untuk diturunkan di Stasiun Gombong lantas berjalan kaki atau menggunakan truk-truk militer Belanda ke daerah republik.

Dielu-elukan Rakyat

Sepanjang perjalanan menuju daerah republik, rakyat banyak mengelu-elukan anak-anak Siliwangi. Di daerah Cirebon (saat itu masuk dalam wilayah pendudukan Belanda), tak henti-hentinya orang-orang memekikan kata “merdeka” setiap melihat para maung berbaris menuju stasiun kereta api dan pelabuhan. “ Untuk menghentikan histeria rakyat tersebut, tentara Belanda yang mengawal para prajurit Siliwangi itu tak jarang menembakan senjatanya ke udara,” tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948.

Seorang mantan petarung Siliwangi asal Ciamis, Kopral (Purn) Soehanda (90) berkisah bahwa tak jarang sambil melakukan pengawalan, para prajurit Belanda dari kesatuan baret hijau (DST; pasukan khusus KNIL) dan dari Yonif V Andjing NICA secara provokatif menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda yang isinya menghina kaum gerilyawan. Teriakan bernada mengejek:  tot ziens lui (sampai jumpa lagi, kawan-kawan) kerap membuat telinga anak-anak Siliwangi sempat memerah. ” Tapi kami tak peduli. Kami tetap berbaris menuju Jawa Tengah dengan kepala tegak ,”kenang Soehanda.

Tetapi dunia tidaklah hitam putih. Selain yang arogan, ternyata ada juga para prajurit Belanda yang sikapnya bersahabat. Alih-alih bersikap sebagai musuh, mereka malah menyambut kedatangan para gerilyawan dengan tawa dan salam laiknya kawan lama. Seorang petarung Siliwangi bernama Soempena (92) bercerita, saat di Gombong, para anak muda Belanda itu cepat sekali berbaur dengan rekan-rekan mudanya di TNI. Mereka saling bertukar cerita.

”Ada seorang tentara Belanda, saya masih ingat namanya Janssen bilang kepada saya waktu itu bahwa sesungguhnya mereka tidak ingin berperang dengan kami. Tapi sebagai prajurit, mereka tidak memiliki pilihan. Ya kami juga begitu…” ujar lelaki sepuh yang kini tinggal di Purwakarta tersebut.

Lauk Ikan Asin

Setelah sampai di daerah republik, rombongan pasukan lantas ditempatkan di asrama-asrama yang kondisinya sangat tidak layak untuk ditempati. Selain kotor dan berantakan, tak jarang asrama-asrama itu tak memiliki fasilitas untuk tinggal seperti lemari dan tempat tidur. Hingga untuk beristirahat pun Letnan (Purn) Alleh ingat, mereka hanya ngampar samak (menggelar tikar) dan berbantalkan ransel. “ Soal kesehatan dan makanan, jangan tanya. Waktu itu kami paling mewah hanya makan nasi dengan lauk pauk sayur kangkung dan ikan asin,” kenangnya.



Sumber: arsipindonesia.com


Inilah !!... Perancang Garuda Pancasila : Sultan Hamid II Putra Sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie

Inilah !!...  Perancang Garuda Pancasila : Sultan Hamid II Putra Sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie

Inilah !!...  Perancang Garuda Pancasila : Sultan Hamid II Putra Sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
Inilah !!...  Perancang Garuda Pancasila : Sultan Hamid II Putra Sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie
Tahukah Anda siapa yang membuat rancangan lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila? Orang itu tak lain tak bukan adalah Sultan Hamid II.

Jasa Sultan Hamid II sangat besar terhadap bangsa dan negara ini. Dialah perancang lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Bagaimana ceritanya?



Saat menjadi koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio, Presiden Soekarno menugaskan Sultan Hamid untuk merencanakan, merancang, dan merumuskan gambar lambang negara. 

Akhirnya, tepat pada 10 Januari 1950, dibentuklah panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II.

Panitia tersebut terdiri dari Muhammad Yamin yang menjabat sebagai ketua. Sementara, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ngabehi Poerbatjaraka, masing-masing  sebagai anggota. 

Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara.

Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. 

Namun, pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara Sultan Hamid II, Soekarno, dan Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. 
Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. 

Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk rajawali yang menjadi Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. 

Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya Sekitar Pancasila terbitan Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. 

Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan "tidak berjambul" seperti bentuk sekarang ini.



Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. 
Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang "gundul" menjadi "berjambul" dilakukan. 

Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan autentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. 

Sedangkan, lambang legara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Istana Kadriyah, Pontianak.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (tahun 1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan "ide perisai Pancasila" muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. 

Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara. 

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Sultan Hamid II, lahir dengan nama Syarif Abdul Hamid Alkadrie, putra sulung Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913-meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun).

Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia. Ia beristrikan seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, yang memberikannya dua anak yang sekarang tinggal di Negeri Belanda.

Syarif Abdul Hamid menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. 

HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Jumat, 24 Maret 2017

Kisah Mantab Nih !!.. Jendral Sjafrie Sjamsoeddin, Menodongkan Pistol ke Pengawal Presiden Israel

Kisah Mantab Nih !!.. Jendral Sjafrie Sjamsoeddin,  Menodongkan Pistol ke Pengawal Presiden Israel


Kawasan Glodok, Agustus 1998. Presiden BJ Habibie mengunjungi kawasan yang belum lama menjadi pusat penjarahan. Massa berkerumun disepanjang jalan padat pertokoan yang dilalui Presiden. Mereka tampak antusias dan hendak mendekati Presiden.

Kisah Mantab Nih !!.. Jendral Sjafrie Sjamsoeddin,  Menodongkan Pistol ke Pengawal Presiden Israel
Kisah Mantab Nih !!.. Jendral Sjafrie Sjamsoeddin,  Menodongkan Pistol ke Pengawal Presiden Israel

Pangdam Jaya, Mayjen Syafrie Syamsudin yang berada dalam rombongan presiden tiba-tiba memacu langkah bergerak cepat ke depan mendahului rombongan. Tak berapa lama, sambil memegang tongkat komando, ke dua tangannya diangkat tanda menghalau massa yang hendak menyerbu presiden. Serentak massa menghentikan langkah.

Sekitar tiga tahun sebelumnya, Syafrie pernah membuat pengawal Presiden Israel bertekuk lutut. Tepatnya 22 Oktober 1995 di Presidential suite, lt. 41 hotel Waldorf Towers, New York, saat Presiden Israel Yitzak Rabin minta bertemu Presiden Soeharto namun awalnya tak mau menuruti prosedur pengamanan standar Paspampres.
    
Sempat adumulut, pengawal Presiden Israel dengan arogannya menodongkan senjata Uzi ke perut Syafrie yang tetap ngotot masuk dalam lift. Namun kalah cepat dengan kegesitan tangan Syafrie yang lebih dulu menempelkan moncong pistol ke perut tentara Israel itu. Sambil menatap mata Syafrie yang tangannya siap menarik pelatuk.

"Sorry I understand it," ujar pentolan Mossad itu sambil menurunkan arah senjatanya. Bahkan PM Israel pun ikut cemas lantara dua orang Paspamres lainnya juga sudah siap menumpahkan peluru. Alhasil Yitzak Rabin rela menuruti prosedur pengamanan Paspamres dan menunggu 15 menit karena memang datang lebih awal dari jadwal diterima Pak Harto.

Syafrie memang petarung. Pria kelahiran Makassar, 30 Oktober 1952 dan lulusan terbaik AKABRI 1974 ini tergolong sering menyabung nyawa. Terlibat operasi di Timor Timor dan Aceh, Syafrie adalah tentara para komando yang kenyang pengalaman tempur di lapangan sebelum ditarik menjadi Paspamres dan ajudan Presiden.

Sempat menjadi Danrem Surya Kancana Bogor, Syafrie menghabiskan karir teritorial di Ibukota. Pernahkan menjadi Kasdam Jaya, Syafrie adalah Pangdam Jaya saat terjadi gelombang reformasi 1998. Tak heran jika pria Bugis ini mengenal ibukota dengan detil. Baik masyarakat maupun sudut-sudut kota Jakarta.


Mengenyam pendidikan komando di Amerika, Syafrie beberpa tahun kembali ke Mabes TNI. Kepiawaian manajerial membuat dia dipilih membenahi Kementerian Pertahanan sebagai Sekjen sejak 2005. Karirnya terus menanjak hingga meraih bintang tiga dan menduduki jabatan Wakil Menteri Pertahanan sejak 2010-2014.

Syafrie memiliki hubungan dekat dengan berbagai kalangan masyarakat ibukota. Suami Etty Sudiyati ini akrab dengan para ulama dan tokoh Betawi. Maklum sejak saat menjadi Pangdam, Syafrie sudah sering blusukan ke berbagai wilayah ibukota. Selain itu juga akrab dengan berbagai elemen masyarakat lain di ibukota.(ris/dbs)

Sumber : teropongsenayan.com

Wow Inilah !!... Sarwo Edhie Wibowo Yang Membuat Nyali PKI Ciut Kakek dari Agus Yudhoyono

Wow Inilah !!... Sarwo Edhie Wibowo Yang Membuat Nyali PKI Ciut Kakek dari Agus Yudhoyono 


M Yusuf (80), masih mengingat bagaimana rakyat mengelu-elukan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo saat memasuki Jawa Tengah. Kala itu Sarwo memimpin Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) membasmi kekuatan komunis di sana.

Sosok perwira dengan baret merah dan seragam loreng darah mengalir, sebutan loreng khas RPKAD, itu sangat populer di mata masyarakat.


"Seingat saya di Jawa Tengah saat operasi, nama Pak Sarwo lebih terkenal daripada Pak Harto," kata seorang pensiunan prajurit.

Politikus PPP Suharso Monoarfa, mengaku termasuk yang terpesona oleh sosok Sarwo Edhie saat itu.

"Dulu waktu di Malang, usai penumpasan G30S/PKI, saya lihat Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Gagah sekali," kata mantan menteri perumahan rakyat era SBY itu.

Tanpa Sarwo Edhie Wibowo mungkin tak semulus ini Soeharto membangun Orde Baru. Sarwo sangat berjasa di hari-hari paling menentukan selepas G30S.

Tanggal 1 Oktober 1965, di saat belum jelas siapa kawan dan siapa lawan, RPKAD jadi satu-satunya pasukan yang bisa diandalkan Mayjen Soeharto. Mereka diberi tugas membebaskan RRI dari tangan pasukan komunis dan menguasai Halim.

Sarwo Edhie dan pasukannya pula yang mencari dan menemukan lubang tempat para pahlawan revolusi berada di Lubang Buaya. Beruntung mereka mendapat bantuan dari agen polisi Sukitman. Seorang polisi yang kebetulan ikut diculik gerombolan Letkol Untung tapi tak dieksekusi.

Setelah kekuatan PKI di Jakarta dibereskan, Sarwo Edhie dan pasukannya bergerak ke Jawa Tengah. Tanggal 19 Oktober 1965, dia sampai di Semarang.

Saat itu kekuatan PKI di Jawa Tengah masih kuat. Massa PKI dan pendukungnya masih berani melakukan perlawanan. Di berbagai kota, Sarwo selalu menggelorakan semangat rakyat untuk bergerak melawan PKI.

"Jangan berikan leher kalian secara gratis pada PKI. Kalian lawan PKI. Jika kalian takut, ABRI berada di belakang kalian. Jika kalian merasa tidak mampu, ABRI bersedia melatih," kata Sarwo disambut sorak sorai massa.

Ucapan Sarwo Edhie benar-benar dilakukan. RPKAD melatih pemuda-pemuda maupun aktivis ormas antikomunis. Rakyat ikut bangkit melawan PKI.

Merekalah yang kelak menjadi jagal bagi para anggota PKI, atau simpatisan, atau orang yang dituding sebagai PKI.

Saat Sarwo kembali ke Jakarta, dia merebut hati pelajar dan mahasiswa antikomunis. Sarwo pula memberi jaminan keamanan bagi para aktivis mahasiswa yang berdemo. Pasukan elite baret merah menyamar menjadi orang sipil untuk mengawal para mahasiswa. Para preman bayaran yang akan menyerang mahasiswa pun tak berani bergerak.

"Pak Sarwo sangat dekat dengan mahasiswa. Banyak mahasiswa menemui Pak Sarwo di Cijantung (markas RPKAD). Pak Sarwo juga perintahkan lindungi adik-adik mahasiswa ini," kata Maman (82), mantan anak buah Sarwo Edhie.

Berita soal Sarwo nyaris muncul setiap hari di koran. Sebagian besar berisi pujian atas prestasinya menumpas PKI.

Namun kepopuleran Sarwo rupanya tak disukai sang atasan. Konon tak boleh ada matahari kembar yang membayangi Jenderal Soeharto. Saat karirnya sedang sangat cemerlang, mulai ada upaya untuk membuangnya.

Betapa terkejutnya Sarwo saat mendengar desas-desus dia akan dijadikan duta besar di Rusia. Semua orang tahu Sarwo adalah penumpas komunis. Kini dia diceburkan di negara yang berpaham komunis. Ini seperti sebuah ledekan buat dirinya.

Ani Yudhoyono menceritakan ayahnya sempat terpukul saat mendengar hal itu. Dia melihat Sarwo banyak melamun di depan rumah.

"Suatu hari aku sempat mendengar Papi bicara pada ibu 'kalau aku memang mau dibunuh, bunuh saja. Tapi jangan membunuh aku dengan cara seperti ini'," kata Ani menirukan sang ayah dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit.

Sarwo akhirnya memang tak jadi dijadikan duta besar di Moskow. Namun dia tak pernah mencapai posisi puncak sebagai seorang militer.

Firasat akan dibuang sebenarnya sudah dirasakan Sarwo. Saat menjadi Panglima di Irian, Sarwo berkisah pada Jenderal Hoegeng, yakin tak akan lama lagi dirinya akan dicopot Soeharto.

Soeharto mendengar desas-desus Sarwo Edhie mau menggalang kekuatan untuk mendongkel Soeharto.

"Padahal saya tak melakukan apa-apa, dan tak merencanakan apa-apa," kata Sarwo Edhie pada Hoegeng dengan nada sedih.

Soeharto kemudian mengirim Sarwo menjadi Duta Besar di Korea Selatan dan akhirnya memarkir sang jenderal menjadi Kepala BP7 yang mengurusi ceramah dan propaganda soal Orde Baru dan Pancasila. Sungguh bukan tempat yang cocok untuk seorang perwira militer dengan pengalaman tempur seperti Sarwo.

Meminjam istilah wartawan senior Julius Pour, Sarwo Edhie Wibowo ibarat cerita wayang. Dimasukan kembali ke kotaknya setelah lakonnya berakhir. Sarwo tak sendiri, sejumlah jenderal pembangun Orde Baru yang lain merasakan hal serupa. Dibuang sang dalang setelah lakon mereka selesai.

sumber : merdeka.com

Ini Baca Artikelnya !!... Ternyata AR Baswedan : Pembawa Surat Pengakuan Kemerdekaan Indonesia Adalah Kakek Anies Baswedan

Ini Baca Artikelnya !!... Ternyata AR Baswedan : Pembawa Surat Pengakuan Kemerdekaan Indonesia Adalah Kakek Anies Baswedan 


Mesir, 10 Juni 1947.

PERINTAH WAKIL MENTERI LUAR NEGERI KH. AGUS SALIM KEPADA ABDURRAHMAN BASWEDAN, MENTERI MUDA PENERANGAN REPUBLIK INDONESIA:
“BASWEDAN, BAGI SAYA TIDAKLAH PENTING APAKAH SAUDARA SAMPAI DI TANAH AIR ATAU TIDAK. YANG PENTING DOKUMEN INI HARUS SAMPAI DI INDONESIA DENGAN SELAMAT…!”

Ini Baca Artikelnya !!... Ternyata AR Baswedan : Pembawa Surat Pengakuan Kemerdekaan Indonesia Adalah Kakek Anies Baswedan
Ini Baca Artikelnya !!... Ternyata AR Baswedan : Pembawa Surat Pengakuan Kemerdekaan Indonesia Adalah Kakek Anies Baswedan 

Itulah perintah tegas Agus Salim kepada AR Baswedan. Bahwa dokumen penting yang menjadi tanggung jawabnya itu, jauh lebih penting dari nyawa orang yang membawanya.

Selembar dokumen maha penting itu berhasil didapat setelah delegasi Indonesia selama berminggu-minggu melakukan negosiasi, melobi wartawan dan pemerintah Mesir.

Perwakilan Pemerintah Belanda di Mesir terus menghalangi upaya mereka untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan RI. Dokumen tersebut adalah selembar surat pengakuan Mesir kepada Negara Republik Indonesia yang berdaulat secara de facto dan de jure, yang ditandatangani Menlu Mesir Nokrashi Pasha, tertanggal 10 Juni 1947.

Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Negara RI.

Keberhasilan mendapatkan satu pengakuan kemerdekaan tersebut, harus segera dilaporkan kepada Presiden Soekarno di Jogjakarta.

Baswedan pun diperintah Agus Salim untuk kembali ke tanah air dan membawa dokumen itu secara rahasia.

Ia harus menyampaikan dokumen itu seorang diri tak peduli bagaimanapun caranya, karena rombongan delegasi saat itu masih harus melobi negara-negara Liga Arab lainnya.

Ketika itu untuk menuju Jakarta dari Kairo, hanya melalui pesawat dengan tujuan Singapura. Sialnya RI yang baru saja merdeka tidak memiliki perwakilan di Singapura. Dan tentara Belanda yang mengenal Baswedan sebagai pemuda aktivis pejuang kemerdekaan, terus menghalangi ia utk kembali ke Indonesia.

Baswedan berkeliling mencari cara dan tumpangan untuk bisa kembali ke Indonesia. Sebagai seorang pemuda keturunan Arab, Baswedan yg pernah menjadi wartawan dan Ketua Partai Arab di Indonesia, sekaligus anggota BPUPKI itu, memiliki jaringan perkawanan yang amat luas.

Selama sebulan di Singapura, ia bergerilya mencari tumpangan untuk pulang ke Indonesia dan hidupnya disokong oleh seorang teman Arabnya. Akhirnya seorang kawannya, Talib Yamani, berhasil membantunya menaiki pesawat menuju Jakarta.

Namun penjagaan pasukan Belanda di Bandara tak kurang ketatnya. Semua yang datang digeledah oleh tentara, dan jika sampai ketahuan maka dokumen penting yang dibawa Baswedan pasti akan dirampas oleh mereka, dan ia terancam ditangkap.
Baswedan tak kurang akal. Ia pun melipat kecil dokumen penting dari Pemerintah Mesir itu, dan menyembunyikannya di bawah kaki di dalam kaos kakinya.

Kedua kakinya saat itu hanya terbungkus sepasang sepatu lusuh, yang telah menemaninya selama berbulan-bulan bergerilya mencari pengakuan kemerdekaan di negeri asing.

Taktik yang sempurna. Karena ternyata tentara Belanda menggeledah semuanya, tapi terlalu malas untuk memeriksa sepatu dan kaos kaki dekilnya.

Setelah lolos dari pemeriksaan, AR Baswedan segera menuju Jogjakarta. Ia menemui Soekarno yang memeluk dan menerimanya dengan berlinangan air mata kebahagiaan.
Setelah Mesir, satu per satu pengakuan dari negara lainpun berdatangan.

Pupus sudah harapan Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Serikat yang berada dibawah kekuasaan mereka.

Pengakuan Mesir itu sudah menghancurkan harapan penjajah. Dengan adanya dukungan Internasional, maka RI bisa bersuara di PBB dan akhirnya berbuah manis dengan diakuinya Negara Republik Indonesia oleh dunia internasional.

Jerih payah Baswedan membawa selembar surat pengakuan kemerdekaan, telah menghantarkan Indonesia untuk mencapai posisi yang sama dengan negara-negara merdeka lainnya di dunia.

Bersama dengan tokoh pejuang seperti AR Baswedan itulah Anies Rasyid Baswedan kecil bergaul, dan tinggal serumah di Jogjakarta.

AR Baswedan adalah kakek Anies yang teramat ia cintai dan selalu menjadi panutan dalam hidupnya.

Sebagai cucu pertama, Anies sering dibawa kakeknya dan menemaninya berbicara di depan publik, mengikutinya berorasi di atas panggung, dan bertemu dengan tokoh-tokoh nasional maupun internasional yg silih berganti menemui dan berdiskusi dengan sang kakek.
Saat sudah masuk SD, tugas Anies kian beragam. Ia diajari mengetik surat agar dapat membantu AR Baswedan yang mendiktekan isi surat, untuk dikirim kepada teman-temannya.

Sebagai penghargaan, di baris terakhir Anies biasa diminta untuk menambahkan kalimat:
‘Surat ini diketik oleh cucu saya, Anies Rasyid Baswedan.’

Tugas Anies mendampingi Sang Pejuang belum selesai.

Saat ia menginjak remaja, Anies mulai dibolehkan belajar mengendarai vespa.

Tugas barunya adalah mengantar kakek untuk mengunjungi teman-temannya. Ia juga menjemput teman-teman seperjuangan kakeknya yang datang berkunjung ke Jogja.

Dengan pengalaman masa kecil dididik oleh sang kakek yang tokoh pejuang, diasuh oleh sang Ibu yang seorang guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta, serta ditempa oleh ayah yang seorang Wakil Rektor di Universitas Islam Indonesia, tak heran Anies kemudian tumbuh menjadi seorang intelektual muda yang cerdas dan cekatan.

Tak heran Anies yang mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM itu, pernah masuk ke dalam ‘Daftar 100 Intelektual Dunia’ pilihan majalah Foreign Policy thn 2008, dan ‘Young Global Leaders’ versi World Economic Forum tahun 2009.

Ia juga jd penggagas Gerakan Indonesia Mengajar yang melibatkan ribuan pemuda di seluruh Indonesia.

Kini Anies Baswedan yang juga mantan Menteri Pendidikan itu, memasuki fase perjuangannya yang baru.

Ia memutuskan untuk bersedia menerima lamaran Sandiaga Uno, agar menjadi pasangannya di Pilkada DKI.

Hujatan dan kritikan yang menghujani Anies saat ini, mengingatkannya kepada petuah sang kakek bahwa ‘Tak Ada Perjuangan Yang Usai’. Selama hayat dikandung badan, maka setiap manusia selalu dituntut untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi sesamanya.

Hujan kritikan pedas yang pernah diterimanya 3 tahun lalu saat dirinya maju mengikuti konvensi di sebuah partai, persis kini dialaminya lagi.

Keputusannya untuk terjun kembali ke politik dengan menjadi Cagub DKI Jakarta, yang diusung oleh 2 partai yg pernah menjadi lawannya di saat Pilpres 2014 lalu itupun, menuai pro dan kontra.

Soal jalan politik yang dipilih sebagai titian perjuangannya itu, dan tentang kenangannya terhadap sang kakek AR Baswedan yang menjadi guru kehidupan sekaligus motivator yang melekat di dalam jiwanya, Anies memberikan penuturan yang kuat dan indah.

Tekad politiknya yang justru kian menebal dalam menghadapi derasnya kritikan dan hujatan, serta cita-cita tinggi Anies dalam membangun bangsa, diabadikan dalam sebuah rekaman 3 tahun lalu.


sumber : ruangbicara.com